"Prahara sengit
di bukit kabut antara Pendekar Tengkorak Ungu dengan Pendekar Tangan Besi semakin
cepat dan galak. Sesekali pendekar Tengkorak Ungu mengeluarkan asap-asap berwarna
ungu dari sebuah tengkorak yang berada di tangan kirinya, sementara tangan
kanannya membias warna pekat kehitaman menandakan bahwa jurus pukulannya ini menggunakan
jurus beracun tingkat tinggi. Sementara di kubu lawannya, Pendekar
Tangan Besi yang
tidak lain adalah Guru dari Mahendra Bijak tampak tertegun dan tidak
memperdulikan keadaan lawannya yang telah mengeluarkan jurus-2
beracun...."
Di kejauhan, di
sebuah bukit curam dua orang pemuda melesat bagai anak panah yang menembus waktu
dan ruang, melesat tanpa memperdulikan semak-semak berduri yang melukai baju
dan kulitnya, seolah-olah semak-semak berduri bagai anai-anai yg menyentuh
kulit mereka dengan sangat halus. Lari mereka menggunakan tenaga dalam cukup
tinggi, walau terlihat seolah berlari tapi hanya sesekali saja kaki-kaki mereka
menyentuh bumi. sepuluh atau belasan langkah berlari kaki-kaki mereka baru
menyentuh tanah. Tapi tanah-tanah yang di pijak oleh aliran tenaga dalam cukup
hebat tidak membuat tanah itu bergetar atau menimbulkan bekas berlubang,
berarti jurus langkah seribu ini adalah jurus meringankan tubuh yang sangat
lihai.
Sesekali dari
sela-sela bibir mereka terlihat senyum dan tawa yang melekat entah
perasaan apa yang mereka simpan dari balik senyum mereka, tapi jelas lah bahwa
tingkat tenaga dalam mereka cukup seimbang. Salah satu pemuda menggunakan
pakaian berwarna hitam di lapisi pakaian dalam tipis berwarna merah, wajahnya
terlihat sangat pucat dan keputihan, sementara kawannya yang di
sebelahnya menggunakan pakaian berwarna merah berlapis kuning-hitam dengan sebuah ikat tipis di
kepalanya yang menjaga rambutnya gondrong agara tidak berantakkan, siapakah
kedua pemuda ini. Seorang pemuda yang mengenakan pakaian berwarna hitam di
kenal di dunia persilatan sebagai Pendekar Gila Tawa, karena setiap
ajian atau jurus-2 yang di keluarkan harus di sertai tawa yang mengguncang
prahara.
Sementara kawannya di
kenal dengan Nama Pendekar Giok Naga pendekar yang satu ini memiliki dua senjata andalan yang
sangat berbahaya, konon salah satu senjatanya yang berbentuk seruling terbuat
dari batu hijau dari darah Naga Hijau yang telah mati akibat membunuh para
dewa dan iblis yang telah mengganggu tapanya, darah antara iblis, Dewa dan Darah naga
menggumpal menjadi satu dan membentuk gumpalan-2 yang memanjang yang akhirnya
oleh seorang Resi maha sakti sebuah batu itu di sulap menjadi sebuah seruling.
Konon senjata inilah yang menjadi incaran para Dewa dan para penganut aliran
hitam untuk menjadi penguasa dunia persilatan. Bukan itu saja bahkan siluman
atau para lelembut sangat menginginkan benda sakti ini berada di tangan mereka
untuk membasmi para manusia di bumi.
Sunggu sangat
beruntung Panji Satria, atau si berjuluk Pendekar
Elang Dewa si
pemilik seruling Giok Naga memiliki senjata sakti ini, Panji Satria tidak serta
merta dengan muda mendapatkan senjata sakti ini, walaupun berbentuk sebuah
seruling senjata ini dalam keadaan mendesak bisa berubah menjadi sebuah Pedang
berwarna hijau pekat yang dapat menebas kesaktian apapun, senjata ini telah
teruji dalam kisah sebelumnya yang berjudul "Tumbal Sakti tujuh Purnama" dimana seorang Dewa dari
khayangan turun kebumi untuk menumpas segala kejahatan, pernah merasa congkak
dan merasa sombong untuk menjadi manusia paling sakti dan paling benar,
beberapa puluh tahun menjadi manusia, Dewa tersebut akhirnya kehilangan rasa
nuraninya sebagai dewa malah berganti menjadi nafsu dan ambisi membara.
Sehingga pikirannya telah berubah seratus delapan puluh derajat..."
Padahal Dewa
tertinggi di khayangan telah menganugrahinya sebuah senjata Maha Sakti
berbentuk Trisula, yang konon mampu membangkitkan kesaktian tenaga dalam si
pemiliknya menjadi berkali2-lipat. Sebuah senjata biasa bila di sentuh oleh
benda berbentuk trisula ini akan menjadi benda yang sangat berbahaya dan
menjadi benda sakti mandraguna, selama senjata sakti ini menyatu pada tubuh
pemiliknya, maka si pemilik senjata ini akan memiliki tenaga dalam beratus-ratus
kali lipat sehingga pukulan yang biasa-biasa saja bisa menjadi pukulan pembawa
kematian. Di ujung maut Panji Satria dan Pendekar Gila Tawa tak mampu berbuat banyak, senjata
sakti milik Panji Satria berbentuk Seruling
Giok Naga telah
lepas jatuh ketanah.
Entah dengan
tiba-tiba saja Panji Satria menyebut rapalan terlarang dari
mulutnya, tiba-tiba saja Seruling Giok yang berada sangat jauh dari tangannya
melesat terbang menyambar tangannya yang telah terbuka, sebuah cahaya kehijauan
menyeliputi tubuh Panji Satria di sertai kepulan asap-asap hijau yang menyelimuti
sekitar kawasan telaga Siluman. Pendekar Gila Tawa tak mampu membuka matanya
dengan jelas karena cahaya kehijauan yang di pantulkan dari tubuh kawannya sangat
menusuk matanya. Bukan itu saja di kubu lawannya pun demikian, cahaya kehijauan
itu telah membuat dirinya terpukul beberapa meter kebelakang.
Sebuah pemandangan
menjadi ganjil, Panji Satria kini telah berubah Menjadi Satria langit, Bajunya yang berwarna
putih kini menjadi sebuah pakaian berbentuk Jirah, Panglima Langit dengan sebuah jirah di tubuhnya,
inilah julukan baru dari kesaktian Seruling Giok Naga. Pakain itu berwarna
hijau di sertai kumpulan cahaya redup redam yang menjadi aura di sekitar
tubuhnya, seruling sakti itu kini telah menjadi dua bilah Pedang Berwarna
hijau. Bahkan mata Elang dewa yang berwarna hitam telah berganti menjadi
kehijauan. Rupanya Seruling sakti ini memiliki kekuatan magis yang luar
biasa.
.................................................................................................................................
Kembali kecerita sebelumnya, Pendekar Tengkorak Ungu dengan Pendekar
Tangan besi masih bertarung di atas bukit dengan sangat hebat, sementara Elang
Dewa dan Pendekar Gila Tawa memburu mereka keatas bukit, tiba-tiba saja mereka
di kejutkan dengan keberadaan orang di atas sebuah batu besar di hadapan
mereka, siapakah tokoh yang menghalangi mereka untuk menuju keatas bukit....Seorang lelaki tua bertubuh kurus kering bercaping bambu mengeryitkan alisnya lalu menatap langit
"Aku melihat darah membasahi bumi...!" Gumannya menyeringai kepada dua pendekar muda
"Hujan darah di langit adalah hujan keruntuhan dewa-dewa yang berbuat kerusakan. Makhluk di bumi tidak perlu takut akan bencana yang ditimbulkan olehnya." Guman seorang penekar bernama Panji Satria
"Engkau mengerti maksudku anak muda, namun sebagai orang tua aku perlu meluruskan tangan untuk menyingkap amarahku. Sekalipun para dewata membenci perbuatanku namun aku harus membayarkan kematian Sora Menggala yang telah kau bunuh satu tahun silam."
"Orang Tua mengapa engkau harus menjadikan aib bagi dirimu sendiri untuk menutupi malu oleh perbuatan tercela muridmu." Guman Pendekar Gila Tawa Alias Jaka Kelana
"Sepatutnya aku menjadi seorang dewata di nirwana sana namun hingga detik ini Para dewata enggan mengangatku menjadi abdi, penantian dan perenunganku sudah mencapai titik kesirnaan. Aku telah membuang semua kemauan duniawi untuk menyakiti manusia namun mendengar kematian murid terbaikku yang mati di tangan kalian, semua impianku telah kubuang jauh-jauh."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar